Rabu, 13 Januari 2010

Sains Dalam Islam 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang)

“Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi islam itu sendiri. Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (632 M), kamu Muslim telah berhasil menaklukan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang diistilahkan ‘pembukaan negeri-negeri’ (futuh al-buldan) itu berlangsung pesat tak terbendung”.

Bagai diterpa gelombang tsunami, satu-persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukan. Tak sampai satu abad, tepatnya pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luasan jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Al-jazair, dan Maroko), mencakup Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, ditambah semenanjung Liberia (Spanyol dan Portugis) dan India.
Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya pengalihan missal dari agama asal atau kepercayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradapan setempat. Proses interaksi inilah yang membentangkan gerakan “Islamisasi”, atau ada yang lebih suka menyebutnya sebagai naturalisasi, integralisasi, atau asimilasi, dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung dan disaring dulu sebelum kemudian diserap.
Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negero-negeri yang ditaklukannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksanaannya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah Al-Makmun (w. 833 M) mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bait Al-Hikmah. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh buku-buku sains dari Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan kimia. Muncullah orang-orang seperti Abu Bakr Al-Razi (Rhazes), Jabir Ibnu Hayyan (Geber), Al-Khawarizmi (Algoritma), Ibnu Sina (Avicenna) dan masih banyak sederetan nama besar lainnya.
Kegemilangan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, Al-Battani (w. 929) mengoreksi dan memperbaiki system astronomi Prolomeus. Dia mengamati pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan berbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur (mural quadrant). Seperti buku-buku lainnya, karya Al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus.
Kritik terhadap teori-teori Prolemeus, juga telah dilontarkan oleh Ibnu Rusyd (w. 1198) dan Al-Bitruji (w. 1190). Dalam bidang fisika, Ibnu Bajjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikan pula, dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan, dalam hal tehnologi, pada sekitar tahun 800-an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon (w. 1292) dan belakang dipopulerkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519).
Kejayaan
Faktor-faktor yang telah mendorong kemajuan sains di dunia islam pada saat itu setidaknya ada lima. Pertama, berkat kesungguhan dalam mempraktikan ajaran islam, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an mengecam karena sifat dogmatis atau taklid buta. Doktrin ini membawa dampak sangat positif dengan terciptanya masyarakat ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu (knowledge culture), dua pilar utama setiap peradaban.
Kedua, adanya motivasi agama. Seperti kita ketahui, kitab suci Al-Qur’an banyak berisi perintah untuk menuntut ilmu, membaca (iqra’), melakukan observasi, eksplorasi,ekspedisi (sirru fil ardhi) dan berfikir ilmiah rasional.
Ketiga, faktor sosial-politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain oleh kondisi masyarakat islam, yang meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya masing-masing, namun berhasil diikat oleh tali persaudaraan islam. Dengan demikian, terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan.
Para cendekiawan masa itu dengan leluasa dan aman bepergian ke pusat-pusat pendidikan dan keilmuan, dari Seville ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari Isfahan ke Kairo, atau dari Yaman ke Damaskus. Ini belum termasuk mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia islam semisal Ibnu Jubair (w. 1217) dan Ibnu Batutah (w. 1377).
Keempat, faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat masa itu membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengembangkan diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Imam Al-Dhahad (w. 1348), misalnya, menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Namun umumnya, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di Universitas dan sekolah-sekolah tinggi, seperti Nizamiyyah, Aziziyyah, Mustansiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif.
Kelima, adalah dukungan dan perlindungan penguasa saat itu. Para ilmuan, semisal Ibnu Sina, Ibnu Tufail dan Al-Tusi berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasihat sultan, dokter istana, atau sekaligus pejabat Hamadan waktu itu.
Kemunduran
Lantas, mengapa perjalanan sains di dunia islam seolah-olah mendadak berhenti, mengapa cahaya kegemilangan itu kemudian redup lalu seolah lenyap sama sekali? Secara umum, faktor-faktor penyebab kematian sains di dunia islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni internal dan eksternal.
Ada amatan bahwa kemunduran itu dikarenakan pada masa terkemudian kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis agama. Aritmatika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian harta warisan. Astronomi dan Geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) diajarkan terutama untuk membantu menentukan arah kiblat dan menetapkan jadwal sholat.
Pandangan lain menyatakan bahwa oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi dan politik, serta keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga factor utama penyebab kematian sains di dunia islam. Sains dan saintist pada masa itu seringkali ditentang dan disudutkan. Ini menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba.
Tak pelak, krisis ekonomi dan kekacauan politik amat berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik berkepanjangan disertai perang saudara telah mengakibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Semua ini diperparah dengan datangnya serangan tentara Salib, pembantaian riconquista di Spanyol dan invasi Mongol yang meluluh-lantakkan Baghdad pada 1258. Tidak sedikit, perpustakaan, berbagai fasilitas riset dan pendidikan porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh dan sains pun berjalan tertatih-tatih.
Kemajuan ataupun kemunduran sains, kiranya dipengaruhi oleh dan tergantung pada banyak faktor internal maupun eksternal. Kaum muslimin dapat meraih kembali kejayaannya, jika mereka mau belajar dari sejarah agar tidak terjungkang ke jurang kegelapan berkali-kali. Nah, sains di masyarakat Muslim tak sekedar hanya dilihat, diraba dan diterawang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by EiAk - Journalism World | EiAk Corporation