Rabu, 13 Januari 2010

Imlek Feat Ajaran Islam

Perayaan imlek di Indonesia, berawal dari kebebasan yang diberikan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000, penetapan libur fakultatif oleh Menteri Agama tahun 2001, hingga penetapan libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui SK Presiden RI No 19, April 2002. Hal ini, merupakan kebijakan yang toleran dan menempatkan etnis Tionghoa setara dengan warga Negara Indonesia lainnya. Keputusan pemerintah ini sejalan dengan proses reformasi, setelah pada periode Orde Baru, Soeharto melakukan represi yang mendeskriminasi etnis Tionghoa.
“Pemerintah Orde Baru, lewat Instruksi Presiden No. 14/1967, dengan tegas melarang segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Alasannya, yakni jika berbagai kegiatan tersebut tetap dilakukan, ditakutkan para warga keturunan Tionghoa lebih pro pada Negara asalnya dibanding pada Indonesia”.

Asal Mula
Dalam sejarah, Tahun Baru imlek muncul dari tradisi masyarakat agraris Tiongkok. Para petani yang kehidupannya tergantung kondisi alam mempunyai perhitungan sendiri untuk penanggalan yang disesuaikan dengan pola musim tanam. Hari raya imlek (Yinli Xinnian) jatuh tanggal 1 bulan 1 tahun imlek berdasarkan perhitungan peredaran bulan, dikombinasikan dengan perhitungan peredaran matahari dan pergantian musim dari musim dingin ke musim semi. Kalendernya disebut nungli, berarti kalender untuk petani.
Pendapat lain menyebutkan, Imlek didasarkan perpaduan perhitungan peredaran bulan dan matahari (lunisolar). Penanggalan ini memiliki konsekuensi tiap 19 tahun dilakukan tujuh kali penambahan atau penyisipan satu bulan pada tahun tertentu, agar jumlah hari per tahun dalam kurun tertentu sama dengan system solar. Menjelang Imlek biasanya turun hujan, banyak buah, dan juga panen hasil pertanian lain. Hal inilah, yang disyukuri petani, karena selain panen, masa itu baik untuk menanam kembali untuk musim berikutnya. Dengan demikian, selain suasana syukur, Imlek juga munculnya harapan baru untuk masa depan (musim) yang lebih baik.
Dari daerah aslinya, suasana perayaan Imlek adalah benar-benar pesta rakyat menyambut datangnya musim semi, lalu bersama-sama sambil menari-nari mananam kembali sawah dan kebun dengan tanaman sambil berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa memohon berkat yang berkecukupan. Jadi, perayaan Imlek ini sebenarnya dilakukan oleh seluruh rakyat, bukan dominasi agama tertentu, karena memang perayaan untuk menyambut datangnya musim semi. Belakangan, perayaan Imlek juga dilaksanakan di masjid-masjid. Tentu saja, ini dilakukan oleh warga muslim Tionghoa. Tahun 2003, warga muslim Tionghoa di Yogyakarta pernah melaksanakan perayaan di masjid. Pelaksanaan Imlek di masjid itu dilakukan setelah mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta yang memberikan izin kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) untuk melakukan kegiatan Imlek di Masjid Syuhada, Kota Baru. Bagi mereka, imlek di pandang bukan sebagai ritual suatu agama tertentu Konghucu, misalnya, tetapi merupakan ungkapan syukur pergantian tahun.
Di era modern ini, tampaknya telah terjadi sebuah pergeseran makna Imlek. Selama ini, ucapan selamat yang populer berbunyi “gong xi fa cai”. Ucapan ini berarti “semoga tambah kaya” dalam dialek Guangzhou. Sebetulnya, jika ditilik dari asal mula dan sejarahnya di atas, ucapan di kalangan orang Tionghoa yang dahulu, berbunyi “sin cun kiong hi” yang artinya, “selamat memasuki musim semi” (xin chun gong xi). Hal ini, terjadi sejalan dengan budaya dagang di kalangan Tionghoa yang mementingkan akumulasi kekayaan, maka ucapan Gong Xi Fa Cai memang agaknya lebih tepat. Walaupun sebetulnya, pada hari yang membahagiakan ini apa saja boleh diucapkan. Tambah bahagia, tambah kaya, tambah panjang umur, atau yang lain.
Sebenarnya, dalam tradisi masyarakat Tionghoa, yang paling penting dalam perayaan imlek ini adalah kembalinya makna keluarga. Berbagai macam ucapan di atas, hanya untuk mengiringi sebuah kegembiraan yang lebih dalam lagi, yaitu kegembiraan menjadi bagian satu keluarga. Dalam tradisi Tionghoa yang sudah berumur 4000 tahun, “keluarga” atau “jia” mempunyai kedudukan sentral. Bagi masyarakat Tionghoa, keluarga bukan hanya lingkungan tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, tetapi juga kiblat atau koordinat tempat ia berpijak untuk mengarungi samudra kehidupan. Dari keluarga, ia mendapatkan bantuan apa saja : moral, spiritual dan material, sedemikian erat hubungan dalam keluarga, sehingga tidak jarang muncul ekses-ekses ke arah nepotisme.
Perayaan Tahun Baru Imlek pada intinya perayaan anak-anak yang ingin menunjukkan xiao (bakti) mereka kepada leluhur. Semua anak, cucu, dan semua saja yang masih mempunyai hubungan darah, datang berkumpul untuk bertemu. Arwah leluhur memang dido’akan dari waktu ke waktu, tetapi sembahyang pada kesempatan Pesta Musim Semi inilah yang paling besar dan paling resmi dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Semua orang akan berusaha sekuat tenaga untuk pulang ke kampong halaman untuk merayakan xin nian (tahun baru).
Tradisi Imlek agaknya tidak berbeda dengan kultur mudik yang hanya ada dikalangan muslim Indonesia. Mudik adalah kembali kepada keluarga dirumah asal. Merayakan hari raya bersama, saling meminta maaf dan mendo’akan. Sekaligus untuk menunjukkan bakti yang menjadi manifestasi ajaran birr al-walidain (bakti kepada kedua orang tua) dalam islam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by EiAk - Journalism World | EiAk Corporation